Profil Syekh Muhammad Jamil Jaho


Muhammad Jamil Jaho
Antara kaki gunung Merapi sebelah barat dan kaki bukit Tui sebelah timur, terdapatlah sebuah lembah yang subur. Lembah yang terletak sebelah selatan dari kota Padang Panjang dengan jarak lk.3km yang penuh dengan sawah ladang yang terbentang hijau, JAHO, itulah nama lembah yang dikenal masyarakat sekelilingnya.

Ditanah Jaho, lahirlah Ulama yang bernama, Syekh Muhammad Jamil Jaho, beliau seangkatan dengan Ulama-Ulama Minangkabau lainnya seperti Dr.H.Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Arrasuli, dan masih banyak nama lainnya yang sama-sama menjadi murid Syekh Akhmad Khatib di Tanah Suci Makkah Mukarramah.
Tahun 1875 dari sepasang suami istri Tuanku Qadhi Tambanbangan dengan Umbuik, lahirlah seorang putra yang diberi nama Muhammad Jamil. Muhammad Jamil selaku dari anak seorang Tuanku, sedari kecil sudah diasuh mengaji Al-Quran dan mengkaji kitab.
Lingkungan sangat berpengaruh pada anak-anak, hal itu dialami juga oleh Muhammad Jamil sendiri. Sejarah perjuangan Syekh Abdur Rahman alias Tuanku Lukak yang dapat lolos ke Mekkah waktu perang Paderi berkecamuk ikut mempengaruhi jiwanya, begitupun dengan peranan Tuanku Lukak dalam memprakarsai lahirnya Piagam Bukit Marapalam selalu menambah denyut jantung beliau, sehingga karya Tuanku Lukak 'Adat Basandi dan Nalam Hukum beliau pelajari dengan seksama
Hal ini semakin merangsang jiwa Muhammad Jamil untuk lebih giat belajar serta mencari Ulama-Ulama kenamaan, sehingga beliau diantar oleh ayahnya ke Gunung Rajo dan belajar di Pesantren Syekh Jafri
Setelah lima tahu belajar disana, tahun 1893 beliau pindah ke Tanjung Barulak Padang Ganting dan belajar di Pesantren Syekh Ayubi, disanalah beliau berjumpa dengan Sulaiman Arrasuli yang kemudian menjadi teman seperjuangan yang merupakan dwitunggal yang tak dapat dilupakan oleh masyarkat Minangkabau.
Pada Tahun 1899 beliau bersama Sulaiman Arrasuli pindah ke Biaro Empat Angkat, hanya satu tahun beliau disana lalu pindah lagi ke pesantren Halaban Lima Puluh Kota. Di Pesantren inilah Muhammad Jamil mula-mula mendapat kepercayaan sebagai asisten dari gurunya. Hal ini disebabkan karena kecerdasan dan kepribadiannya yang begitu memikat.
Kepribadian beliau yang peramah dan suka bergaul, menambah keyakinan gurunya bahwa Muhammad Jamil mempunyai sifat kepemimpinan, karena itu sering beliau dibawa berdakwah keliling Luhak Lima Puluh Kota.

 

Panggilan Tanah Suci

Setelah 20 tahun menuntut ilmu agama serta memperdalamnya dengan berbagai Ulama kenamaan Minangkabau, Muhammad Jamil mengambil keputusan ia harus meninggalkan tanah airnya dan berangkat ke Mekkah, ia tidak dapat menahan detak jantungnya yang begitu gemuruh, Ka'bah serasa di bawah kelopak matanya.
Mekkah waktu itu masih dalam situasi pergolakan, Tentara Turki yang menguasai Asia Kecil selama Lima Abad terusir dari Jazirah Arab. Di bawah komando Abdul Aziz Ibn Saud, cucu Abdullah Ibn Saud yang mati dipancung di Istambul, para gerilyawan gerakan Wahabi dari Hadra Maut merebut kota Ar Riyadh. Untuk keduakalinya keluarga Saud kembali ke Ancestral Badawi Duchy atau Riyadh.
Mekkah sebagai Ibukota Hijaz ketika itu diperintah oleh Syarif On dan kemudian digantikan oleh Syarif Hosen. Barulah tahun 1924 Ibnu Saud dapat merebut kekuasaannya, Syarif Hosen meninggalkan Hijaz dan mendiami tempat pengasingannya di Cyprus.
Sesungguhnya Kerajaan Hijaz secara resmi telah menganut mazhab Hambali, namun di Masjidil Haram, keempat mazhab sunnah itu tetap diajarkan. Bahkan Ulama-Ulama besar diangkat menjadi mufti. Salah seorang Ulama besar yang diangkat menjadi mufti itu adalah seorang putra Minangkabau yang bernama Syekh Ahmad Khatib. Disamping menjadi mufti beliau juga salah seorang Imam, Khatib dan Guru Besar dalam mazhab Syafe'i.
Pada Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabau inilah Muhammad Jamil belajar bersama-sama pemuda dari Indonesia dan Malaysia. Seorang teman akrab beliau yang dianggap gurunya ialah Rasul yang kemudian dikenal dengan nama Dr H.A Karim Amarullah.
Diantara murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang termashur dan menjadi Ulama sepulang ke Tanah Air ialah: Dr H Abdullah Ahmad, Dr HA Karim Amarullah, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Abbas, Syekh Mustafa Hosen Purba, Syekh Hasan Maksum dan Kiyai H Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Walaupun banyak pemuda-pemuda Indonesia murid Syekh Ahmad Khatib yang menjadi Ulama, akan tetapi yang diizinkan menjadi Guru untuk mengajar di Masjidil Haram hanya tiga orang yaitu, DR H A Karim Amarullah, Syekh Taher Jalaludin dan Syekh Muhammad Jamil sendiri.
Mengenai Syekh Muhammad Jamil mengajar di Masjidil Haram, bukan saja didukung oleh Syekh Ahmad Khatib, tapi juga disokong oleh Syekh Ali Maliki dan Syekh Mukhtar Afanny.
Sudah menjadi kebiasaan bagi pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di Mekkah ketika itu, disamping belajar dengan Syekh Ahmad Khatib juga mereka belajar dengan Ulama-Ulama besar dari kalangan Mazhab.
Demikian juga Muhammad Jamil yang belajar tekun selama sepuluh tahun di Mekkah dan Madinah telah dapat menggondol tiga ijazah dari Tiga Ulama Besar yaitu dari Syekh Ahmad Khatib, Syekh Ali Maliki dan Syekh Mukhtar Afanny.

Hujan emas dinegeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap terkenang juga

Puncak Gunung Merapi dan Singgalang, lambaian nyiur di pantai Padang seolah-olah ikut meghimbau, sehingga membuat beliau teringat akan kata-kata ibunya ketika hendak berangkat dulu. "Mil, cepat pulang, ibunda tak bisa berpisah".
Maka dipenghujung tahun 1918 pulanglah Muhammad Jamil ke kampung halamannya yang ditemani juga oleh Syekh Ibrahim Musa. Di Tanah Jaho, beliau tidak langsung mengajar akan tetapi aktif dibidang Dakwah, dengan menerangkan kemajuan di Luar Negeri serta mengadakan pendidikan keliling.
Beliau sedih melihat perkembangan agama di Minangkabau yang katanya adat basandi syarak, syarak basandikan kitabullah, akan tetapi ini hanya tutur kata belaka, pada kenyataannya kemungkaran tetap saja berjalan.
Disamping beliau mendirikan sebuah Halaqah, sebagaimana pernah didirikan oleh Syekh H Abdullah Ahmad di Jembatan Besi Padang Panjang, beliau juga ikut memprakarsai berdirinya Persatuan Ulama Minangkabau atau Ittihadul Ulama yang diketuai oleh Syekh M Saad Mungka, sedangkan beliau sendiri duduk sebagai Penasehat Tinggi bersama-sama dengan Dr HA Karim Amarullah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abbas Qadhi, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Ibrahim Musa dan Ulama-Ulama lainnya.
Pada Tahun 1924, Syekh Muhammad Jamil Jaho ( Jaho adalah gelar yang diberikan orang dengan nama kampung) mengantarkan istrinya le Mekkah karena tidak betah tinggal di Ranah Minang, dan pada tahun 1925 beliau kembali ke kampung halamannya serta beliau langsung mengajar di surau Ambacang Bingung dengan Halaqoh yang baru.

Membangun Muhammadiyah di Padang Panjang

Muhammad Jamil Jaho, mempelopori juga pembangunan Muhammadiyah bersama dengan Syekh M. Zen Simabur dan Syekh St Mangkuto, pembentukan Muhammadiyah cabang Padang Panjang untuk membendung aliran ke kiri-kirian yang telah merasuki tubuh perguruan agama yang ada di Padang Panjang, dan beliaulah yang menjadi ketuanya.
Pada tanggal 5 Mei 1928 bersama Syekh Sulaiman Arrasuli, beliau mendirikan Organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah, nama ini diambil atas nama sekolah yang beliau dirikan. Antara tahun 1930-an adalah tahun gemilang buat sekolah beliau, pada masa ini santri-santri yang datang lebih kurang 1500 orang dari berbagai pelosok.
Waktu hebatnya pertarungan antara kaum muda dan kaum tua, maka beliaulah yang sering menjadi penengah bersama dengan Syekh Ibrahim Musa dab Syekh M. Zen.
Memang ada masa berpisah dan masa bertemu, akhirnya pertentangan kamu tua dengan kaum muda berakhir, orang tidak lagi melihat pertentangan kaum tua dengan kaum muda. yang ada Tabligh besar diadakan dimana-mana, Para Ulama-Ulama dipanggil.

Pandangan Buya Hamka terhadap M. Jamil Jaho

"Saya sempat bergaul dan bertabligh melancarkan organisasi Muhammadiyah berbulan-bulan dengan beliau, maka dapatlah saya ketahui bahwa tidak banyak perbedaan pendiriannya dalam urusan agama dengan ayahku, pandangannya tentang harta pusaka Minangkabau lebih radikal dari pandangan ayahku.
Dan terhadap kepada Tarikat Naqsyabandi, berjauhan pendapatnya dengan pendapat Syekh Sulaiman Arrasuli dan berdekatan dengan pendapat ayahku. Seketika mula-mula pulang dari Mekkah hubungan beliau masih akrab, tetapi karena persentuhan dalam satu masalah pernahlah Dr. H. A. Karim Amarullah bercakap keras dengan beliau, yang dipandangnya menyinggung syarafnya, sejak itu beliau mengundurkan diri dan sudah jarang bersua.
Selanjutnya ketika ayahku ditahan hendak diasingkan Belanda, dan pemerintah Belanda menjawab pertanyaan Dewan Rakyat (Volksraad), bahwa beliau akan diasingkan karena permintaan beberapa Ulama yang tidak senang atas kekerasan beliau menyiarkan agama, maka Ulama yang dahulu sekali memberikan bantahan atas alasan itu ialah Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Pernah beliau berkata "hanya dalam hal-hal khilafiah dan furu' kami berlain pendapat, tetapi dalam pokok agama kami tidak pernah berselisih!". Dan kepaku pernah beliau berkata 'ayahmu memang seorang Alim, tetapi cacatnya ialah karena terlalu keras' (Ayahku, karangan Hamka).

Kegiatan dari tahun 1940 sampai wafat

Tahun 1940 beliau menjadi pimpinan Kuliyah Syari'ah di Padang Panjang dan pada tahun 1942, Ir. Soekarno pernah berkunjung ke sekolahnya.
Pada tahun 1944/1945 beliau aktif dalam organisasi Majlis Islam Tinggi (MIT) yang dipimpin oleh Syekh Sulaiman Arrasuli. Dan pada tanggal 15 Agustus 1945 beliau mengadakan reuni Madrasah Tarbiyah Islamiyah se Sumatra Barat. Itulah hari terakhir beliau memberikan kuliah umum mengenai perkembangan Islam di Tanah Air kepada seluruh peserta. Selesai memberikan Kuliah Umum, datanglah M Syafei ke sekolah beliau diantar oleh Amiruddin Yunus untuk menyampaikan berita kekalahan Jepang di Pasifik.
Tidak lama setelah itu, beliau sakit. Dan tepatnya jam 3.30 sore tanggal 2 November 1945, dengan tenang beliau pergi kepangkuan Ilahi.
Jenazahnya dimakamkan di komplek Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho Padang Panjang, waktu jenazah beliau diantarkan kepemakaman, berbagai sekolah agama dengan beratus-ratus muridnya, turut mensholatkannya, dan hadir juga Syekh SUlaiman Arrasuli, Malik Ahmad, Adam BB dan lainnya.

Buah Penanya

Selain mengjar dan berdakwah, beliau juga banyak mengarang, diantara karangan beliau adalah: Tadzkiratul Qulub, Nujumulhidayah, Sumusul Lamiah fi aqidah Ad-Dianah, Hujjatul Balagah, Maqalaturradhiah, Kasyatul Awishah, Suluh Benderang dan lainnya dalam bahaya Melayu Minangkabau.
Walaupun beliau sudah tiada lagi, namun namanya tetap hidup di tengah-tengah masyarakat islam karena jasanya selaku seorang reformer dalam pendidikan islam
Suri tauladan dalam hayatnya, patut kita tiru dan menjadi contoh yang baik bagi generasi di belakangnya, jasa-jasa beliau didalam mengibarkan panji-panji Islam di Tanah Air, patut kita hargai.
Mudah-mudahan akan datang Ulama-Ulama seperti beliau dalam membendung arus kelangkaan Ulama yang sering dibicarakan pada saat sekarang ini, 'Allah tidak akan mencabut ilmu tetapi Allah memanggil para Alim Ulama satu persatu'.
Irwan Natsir
(Sumber: Risalah No.4 Th.XXVII, Syawal - Dzulqo'idah 1409 H/Juni 1989)



2 komentar:

  1. Izinkanlah saya menulis / menebar sejumlah doa, semoga Allaah SWT mengabulkan. Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘alamiin.

    Lebih dan kurang saya mohon maaf. Semoga Allaah SWT selalu mencurahkan kasih sayang kepada kaum Muslim. Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.

    Asyhaduu anlaa ilaaha illallaah wa asyhaduu anna muhammadarrasuulullaah

    A’uudzubillaahiminasysyaithaanirrajiim

    Bismillahirrahmaanirrahiim

    Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin,
    Arrahmaanirrahiim
    Maaliki yaumiddiin,
    Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin,
    Ihdinashirratal mustaqiim,
    Shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladhaaliin

    Aamiin

    Bismillaahirrahmaanirrahiim

    Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, hamdan yuwaafi ni’amahu, wa yukafi mazidahu, ya rabbana lakal hamdu. Kama yanbaghi lii jalaali wajhika, wa ‘azhiimi sulthaanika.

    Allaahumma shalli wa sallim wa baarik, ‘alaa Sayyidinaa wa Nabiyyinaa wa Maulaanaa wa Maulaanaa Muhammadin wa ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wa azwaajihim wa aalihim wa dzurriyyaatihim wa ash-haabihim wa ummatihim ajma’iin.

    ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ‘ALAYYA MIN KHAZAA INI RAHMATIKA YAA ARHAMAR-RAAHIMIIN.

    RABBI INNII LIMAA ANZALTA ILAYYA MIN KHAIRIN FAQIIR.

    Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiina imaamaa.

    “Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.

    “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).

    Ya Allaah, tetapkanlah kami selamanya menjadi Muslim, tetapkanlah kami selamanya dalam agama yang kau ridhai – Islam, tetapkanlah kami selamanya menjadi umat dari manusia yang paling engkau muliakan – Sayyidina wa Nabiyyina wa Maulaanaa Muhammad Shallahu’alaihi wa alihi wa shahbihi wa ummatihi, wa baraka wassallam.

    Ya Allaah, percepatlah kebangkitan kaum Muslim. Pulihkanlah kejayaan kaum Muslim, Lindungilah kaum Muslim dari kesesatan. Berilah kaum Muslim tempat mulia di akhirat.

    Allaahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiini waddun-yaa wal akhirati wa ’aafiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wabarakatan firrizqi wa taubatan qablal mauti, wa rahmatan ‘indal mauti, wa maghfiratan ba’dal maut. Allahuma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti, wannajaata minannaari wal ‘afwa ‘indal hisaab.

    Allaahumma inna nas aluka husnul khaatimah wa na’uudzubika min suu ul khaatimah.

    Allaahuma inna nas’aluka ridhaka waljannata wana’uudzubika min shakhkhatika wannaar.

    Allaahummadfa’ ‘annal balaa-a walwabaa-a walfahsyaa-a wasy-syadaa-ida walmihana maa zhahara minhaa wamaa bathana min baladinaa haadzaa khaash-shataw wamin buldaanil muslimuuna ‘aammah.

    Allaahumma ahlikil kafarata walmubtadi-‘ata walmusyrikuun, a’daa-aka a’daa-ad diin.

    Allaahumma syatttit syamlahum wa faariq jam-‘ahum, wazalzil aqdaamahum.

    Allaahumma adkhilnii mudkhala shidqiw wa-akhrijnii mukhraja shidqiw waj-‘al lii milladunka sulthaanan nashiiraa.

    ——(doa khusus untuk SYAIKH MUHAMMAD JAMIL JAHO, semoga Allaah selalu mencurahkan kasih sayang kepada BELIAU).

    ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WA’AAFIHI WA’FU ‘ANHU
    ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHU WA LAA TAFTINNAA BA’DAHU WAGHFIRLANAA WALAHU
    ———————

    Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaabannaar wa adkhilnal jannata ma’al abraar.

    Rabbanaa taqabbal minna innaka antassamii’ul aliimu wa tub’alainaa innaka antattawwaaburrahiim. Washshalallaahu ‘alaa sayyidinaa wa nabiyyinaa wa maulaanaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa ummatihi wa baraka wassallam.

    HASBUNALLAAH WANI’MAL WAKIIL NI’MAL MAULA WANI’MAN NASHIIR.

    Subhana rabbika rabbil ‘izzati, ‘amma yasifuuna wa salamun ‘alal anbiyaa-i wal
    mursaliin, walhamdulillahirabbil ‘aalamiin.

    Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.


    Indra Ganie – Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

    BalasHapus
  2. guru saya, raudah nur jamil adalah anak dari beliau... bersama suaminya membuka cabang MTI di sungai guntung...

    BalasHapus