PDRI dilupakan orang, sejarahnya pun tidak banyak diungkap. Padahal PDRI merupakan bagian dari sejarah Bangsa Indonesia yang sangat penting. Eksistensi dan kesinambungan Republik Indonesia tak dapat dipisahkan dari Pemerintahan Darurat yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Siapa saja tokoh-tokohnya? bagaimana hubungannya dengan Soekarno, Hatta dan Panglima Besar Jenderal Sudirman?
Agresi Militer Belanda II
Pesawat musuh terbang rendah dan menderu-deru diatas Ibukota. Bom dijatuhkan dan yang pertama kali menjadi sasaran adalah lapangan terbang dan pemancar radio. Tak lama kemudian Ibukota jatuh, Presiden dan wakilnya serta para menteri lainnya ditawan.
Peristiwa dramatis di atas terjadi 19 Desember 1948 lalu. Ketika itu para pemimpin Indonesia tidak menduga sama sekali bahwa Agresi Militer II Belanda itu terjadi begitu tiba-tiba. Serangan terjadi pada pukul 05.30, sedangkan pembatalan sepihak atas perjanjian Renville diumumkan pihak Belanda jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya selang beberapa jam sebelum aksi dilancarkan. Karena itu pula, pihak TNI tidak siap menghadapinya.
Tujuan Belanda melakukan Agresi Militer II yaitu ingin menunjukan kepada dunia luar bahwa Republik Indonesia telah hancur lebur, dengan didudukinya Ibukota Jogyakarta dan para pemimpin negaranya ditawan. Namun perhitungan itu keliru. Perlawanan rakyat tetap berlanjut.
Selain itu, dalam situasi gawat tersebut Wakil Presiden/PM Mohammad Hatta sempat mengadakan sidang kabinet di Kepresidenan pada pukul 10.00. Pada sidang tersebut hadir Presiden dan para Menteri lainnya.
Sidang tersebut menghasilkan tiga keputusan penting yatu:
pertama, Presiden dan Wakil Presiden akan tetap tinggal di dalam kota (sebelumnya telah direncanakan untuk terus berjuang bergerilya di luar kota), dengan pertimbangan keamanan keduanya tidak terjamin lagi untuk pergi ke luar kota, karena pasukan pengawal yang dibutuhkan sebanyak satu batalyon tidak tersedia.
Kedua, Wakil Presiden/PM menganjurkan supaya tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya terhadap tentara Belanda.
Ketiga, Presiden dan Wakil Presiden mengirimkan kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Dibentuknya PDRI
Sebelumnya, sudah ada dugaan bahwa Belanda akan melakukan lagi aksi militernya, karena perundingan antara Delegasi RI dengan Belanda, yang membicarakan pelaksanaan Perjanjian Renville pada bulan Juni 1948, menemukan jalan buntu.
Sementara itu, PKI di bawah pimpinan Muso melakukan pemberontakan di Madiun. Kemudian usulan yang diajukan Merle Cochran, anggota KTN dari Amerika, pada bulan Oktober 1948 tidak dapat menembus kemacetan.
Menghadapi situasi seperti ini, Pimpinan Negara dan Angkatan Bersenjata mengadakan rapat untuk membahas siasat yang akan diambil. Dibicarakan pula kemungkinan Pemerintahan di pindahkan ke Sumatera. Ketika itu ada gagasan untuk membagi anggota pemerintahan menjadi tiga kelompok, untuk meneruskan perjuangan. Presiden yang didampingi beberapa orang pembesar akan melakukan perjuangan diplomasi di Luar Negeri. Wakil Presiden/PM akan memimpin perjuangan di Sumatera. Sedangkan Menteri lain dan Pimpinan Angkatan Bersenjata memimpin Perang Gerilya di Jawa.
Dipilihnya Sumatera karena wilayahnya yang luas dan hutannya yang masih lebat. Sejak dulu Sumatera, khususnya Aceh, sulit ditundukan. Selain itu letaknya yang di ujung barat wilayah RI akan memudahkan hubungan dengan luar negeri, seperi India, Srilangka dan Birma.
Pada pertengahan November 1948, atas permintaan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mohammad Hatta berangkat ke Bukittingi untuk melerai pertikaian antara Mayor Bedjo dan Mayor Malau di Tapanuli. Hatta disertai Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Lukman Hakim, Rusli Rahim, Kolonel Hidayat, Letkol Akil Prawiradiredja dan lain-lain.
Dalam bukunya, Memoir, terbitan Tintamas tahun 1982 Hatta menyebutkan bahwa Sjafruddin akan menjadi perdana menteri sementara apabila terjadi Aksi Militer II Belanda.
Setelah perselisihan Mayor Bedjo dan Mayor Malau bisa diatasi, Hatta kembali ke Yogya untuk melakukan perundingan lagi dengan Belanda. Sjafruddin dan para pembantunya diminta untuk sementara tetap di Bukittinggi untuk mengatur kembali keuangan di Propinsi Sumatera. (Memoir)
Sementara menunggu di Bukittingi, Sjafruddin, seperti diungkapkan dalam buku : Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT, membuat analisa tentang perundingan yang akan dihadapi Hatta. Kemungkinan pertama, tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia. Kedua, perundingan menemui jalan buntu. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi maka diharapkan Hatta akan kembali ke Sumatera untuk memimpin pemerintahan darurat, seperti yang pernah dibicarakan.
Ternyata perundingan pada tanggal 30 November 1948 itu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan sikap Dr. Sassen, Menteri seberang lautan Belanda, yang menyatakan bahwa TNI dijadikan sebagai pengawal keamanan saja, bukan sebagai tentara nasional RIS yang akan dibentuk.
Padahal, sebelum itu telah dicapai kesepakatan antara Hatta dengan Dr. Stikker, Menlu Belanda, tentang persoalan inti yang dibicarakan: yaitu tentang pembentukan Pemerintahan Federal dan status serta kedudukan TNI.
Gagalnya perundingan ini diikuti kemudian oleh aksi Militer Belanda. Ditawannya para pemimpin negara menyebabkan rencana semula tak dapat dilaksanakan. Beberapa kalangan dipihak Republik Indonesia agak kecewa melihat kenyataan ini.
Presiden dan Wakil Presiden/PM sempat mengirimkan dua kawat sebelum ditawan.
Kawat pertama ditujukan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara :
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Soekarno
Wakil Presiden Mohammad Hatta
Kawat kedua ditujukan kepada Mr. A.A. Maramis di New Delhi:
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari
minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai
serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika Ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wakil Presiden Mohammad Hatta
Menteri Luar Negeri H. Agoes Salim
Mandat di atas tidak pernah sampai ketangan Sjafruddin. Tetapi, setelah mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden tertawan - hal yang membuat Sjafruddin kecewa, yang dipantau melalui siaran Radio, akhirnya Sjafruddin berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Prof. George McTurnan Kahin menulis, dalam sambutan 75 tahun Sjafruddin Prawiranegara, bahwa yang menjadi pedoman satu-satunya bagi Sjafruddin membentuk PDRI adalah mandat samar-samar yang ditinggalkan Hatta kepadanya. Sedangkan betapa pentingnya peranan PDRI, guru besar Cornell University yang menyaksikan jalannya revolusi Indonesia dan telah menulis buku tentang hal itu, menulis: "Sebagai diketahui, Jenderal Sudirman dan banyak perwira-perwira lainnya segera mengambil inisiatif militer, namun agaknya tidaklah akan ada inisiatif politik yang sejajar jikalau bukan peranan yang dipegang oleh PDRI yang dikepalai oleh Sjafruddin Prawiranegara".
Pembicaraan tentang pembentukan PDRI dihadiri Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, Komisaris Pemerintahan Pusat untuk Sumatera Teuku Mohammad Hasan, Residen Sumatera Tengah Sutan Mohammad Rasjid, Komisaris Negara Urusan Keuangan Lukman Hakim, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Indratjahja, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Sumatera Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Direktur BNI Abdul Karim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latif, Kepala Jawatan Koperasi Pusat Rusli Rahim, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kolonel Udara H. Sujono, Idris Batangtaris - Ajudan Ajafruddin, dan lain-lain.
Pertemuan diadakan di Halaban, 15Km sebelah selatan Payakumbuh. Setelah mendengar laporan Residen Sutan Muhammad Rasjid tentang keadaan Bukittinggi, yang juga dibombardir Belanda, dan Sumatera umumnya pusat pembicaraan diarahkan pada pembentukan PDRI.
Setelah kesepakatan didapat, dan menyerahkan diri sepenuh pada Allah SWT, diumumkanlah berdirinya PDRI pada tanggal 22 Desember 1948, jam 04.30. Berdirinya PDRI segera disiarkan ke luar negeri dan dijelaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tetap ada bersifat Mobil.
Dasar Hukum PDRI
Susunan Personalia PDRI ketika itu adalah:
- Mr Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i
- Mr. Teuku Mohammad Hassan: Wakil Ketua merangkap Mendagri/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/Menteri Agama
- Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Keamanan merangkap Menteri Perburuhan, Pembangunan dan Pemuda
- Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan
- Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman
- Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran
- Marjono Danubroto: Sekretaris PDRI.
Kemudian Jenderal Sudirman dikukuhkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang; Kol. A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa; Kol. Hidayat sebagai Panglima Teritorial Sumatera; Kol. Laut M. Nazir sebagai Panglima Angkatan Laut; Kol. Udara H. Sujono sebagai pimpinan Angkatan Udara dan Komisaris Besar Umar Said sebagai pimpinan Kepolisian Negara.
Untuk menghadapi Belanda di Sumatera, PDRI mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di Aceh; Dr. F.L. Tobing sebagai Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli Mr. Sutan Mohammad Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Tengah; R.M. Oetojo sebagai Gubernur Militer Riau dan Dr. A.K. Gani sebagai Gubernur Militer Jambi dan Sumatera Selatan. Jabatan Wakil Gubernur Militer diserahkan kepada pejabat militer setempat.
Pemerintahan di Sumatera dilengkapi pula dengan mengangkat Mr. S.M. Amin sebagai Komisaris daerah Sumatera Utara; Mr. Nasrun untuk Sumatera Tengah dan Drg. M. Isa untuk Sumatera Selatan.
Di Jawa, dibentuk Komisaris Pemerintahan Pusat di Jawa (KPPD), pada 16 Mei 1949. KPD terdiri atas; Dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri; Mr. Sutanto Tirtoprodjo menjadi Menteri Kehakiman; I.J Kasimo sebagai Menteri Pembagian Makanan Rakyat; K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama dan R.P. Soeroso sebagai Komisaris untuk Urusan Dalam Negeri. Dengan dibentuknya KPPD ini berarti roda pemerintahan di seluruh wilayah RI dapat berjalan sebagaimana seharusnya. KPPD ini bertanggung jawab sepenuhnya kepada pimpinan PDRI.
Setelah dirundingkan lebih lanjut dan adanya kontak dengan A.A. Maramis yang berada di New Delhi, India, susunan baru PDRI ditetapkan:
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan
- Mr. A.A. Maramis: Menteri Luar Negeri
- Mr. Susanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman
- Dr. Sukiman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
- I.J. Kasimo; Menteri Kemakmuran
- Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan
- H. Masykur: Menteri Agama
- Mr. T.M. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
- Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
- Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum
- Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
Kedudukan PDRI tersebut memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu berupa radiogram yang dikirim Presiden dan Wakil Presiden, walaupun kawat tersebut tidak pernah sampai ketangan PDRI. Jadi PDRI menggantikan kedudukan premerintahan Soekarno/Hatta dan legalitasnya memiliki dasar yang kuat. Eksistensi PDRI disokong penuh oleh rakyat dan tentara yang bergerilya melawan Belanda. Sokongan ini terlihat jelas dari kawat yang dikirim para Menteri dan Pimpinan Militer di Jawa.
Karena keadaan yang kian gawat, pimpinan PDRI akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan Halaban. Bersama rombongan, Sjafruddin meninggalkan Halaban menuju ke arah timur. Lewat Payakumbuh terus ke Bangkinang, Riau. Perjalanan diteruskan ke Taluk, lalu ke Sungai Dareh, Hulu Batanghari, Abai Sangir(Daerah Kerinci) dan akhirnya Bidar Alam.
Simpati Luar Negeri
Makin lama kedudukan PDRI makin kuat. Demikian pula kedudukan militer di jawa. Sedangkan perjuangan diplomasi ditingkat Internasional mendatangkan simpati
Dua hari setelah Belanda menyerang Yogya, Srilangka menutup pelabuhan udaranya buat kapal terbang Belanda yang akan pergi atau kembali dari Indonesia. India dan Pakistan kemudian mengikuti langkah Srilangka. Liga Arab di Kairo mengajukan imbauan pada Australia, Birma, Ethiopia, Filipina, India, Iran, Irak, Lebanon, Mesir, Pakistan, Saudi Arabia, Srilangka, Siria, Yaman sebagai peserta penuh; kemudian Cina, Nepal, Selandia Baru dan Siam sebagai Peninjau. Mereka mendesak agar Belanda menarik kembali pasukannya dari daerah Keresidenan Yogyakarta.
Desakan itu berpengaruh pada Resolusi DK-PBB. Sebelumnya Dewan Keamanan itu hanya menyerukan penarikan mundur tentara Belanda dari kota Yogyakarta saja.
Perundingan Roem-Royen
Resolusi tersebut ditolak Belanda, kemudian, UNCI (United Nations Commissiom for Indonesia) atau Komisi PBB untuk urusan Indonesia memberikan ultimatum; Jika sampai 15 Februari 1949 tidak tercapai persetujuan untuk membentuk pemerintahan federal sementara, mereka akan melaporkan hal itu pada DK-PBB.
Dr. Beel, Wakil Mahkota Kerajaan Belanda di Indonesia, mengajukan usul baru: memperlekas penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Federal Indonesia, mengadakan konferensi meja bundar dan membicarakan Uni Indonesia-Belanda. Beel mengajak berunding dengan pihak Indonesia, yakni Soekarno-Hatta yang masih berada dalam tawanan Belanda.
Tanpa meminta persetujuan atau konsultasi terlebih dahulu dari pihak PDRI sebagai pemerintahan yang sah, Soekarno-Hatta menunjuk Mr. Mohammad Roem mewakili pihak Indonesia untuk berunding dengan Belanda. Delegasi Belanda dipimpin Van Royen. Perundingan Roem-Royen ini berlangsung April-Mei 1949.
Sjafruddin dan kawan-kawan merasa kecewa atas sikap Soekarno-Hatta tersebut. PDRI merasa yakin bahwa kedudukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan pemimpin Indonesia yang sedang ditawan. "Kedudukan PDRI jauh lebih kuat daripada Soekarno dan Hatta, dengan sendirinya Belanda lebih suka berunding dengan pihak yang lebih lemah posisinya", demikian dalam buku Sjafruddin Prawiranegara.
Tentang hal itu, Sutan Mohammad Rasjid, dalam bukunya sekitar PDRI, menulis: "Orang-orang yang berada dalam tawanan tidak bebas mengeluarkan pendapat. Ditambah dengan perasaan agak lega akan dibebaskan, tentu konsesi-konsesi yang mungkin kecil dapat diberikan".
Ternyata, pendapat PDRI senada dengan pernyataan Panglima Besar Sudirman. Sudirman kecewa dan tidak puas terhadap perundingan Roem-Royen. Ketidakpuasan itu dinyatakan pada ketua PDRI melalui kawatnya, tanggal 25 April 1949.
Kekecewaan pihak militer dan PDRI dapat dimengerti. Belanda hanya menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Sedangkan daerah-daerah yang lebih luas pada kekuasaan RI, bahkan Aceh seluruhnya bebas dari jangkauan Belanda. Persetujuan Roem-Royen hanya berhasil membebaskan Yogyakarta, sedangkan PDRI menginginkan agar pemerintah Belanda kembali pada Perjanjian Lingkarjati.
(Beberapa lama kemudian, Hatta menjelaskan bahwa ia dan Soekarno bersedia menerima tawaran Belanda untuk berunding karena pihak luar negeri termasuk DK-PBB, tetap memandang kabinet Hatta sebagai pemerintahan RI yang sah. Untuk menarik manfaat itu, Hatta bertindak sebagai Perdana Menteri yang mengepalai pemerintahan, dan PDRI dianggap sebagai bagian daripadanya yang mengurus soal sehari-hari kedalam. Karena itu, para pemimpin di Bangka yang ditahan menetapkan untuk membantu PDRI berhubungan dengan Luar Negeri).
Karena PDRI kurang setuju atas perundingan Roem-Royen, Soekarno dan Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan bertanggung jawab atas terselenggaranya perundingan tersebut, berusaha memberikan keterangan langsung pada pihak PDRI. Untuk itu Hatta sendiri pergi ke Sumatera. Ia mengira Pimpinan PDRI berada di Aceh, padahal tidak. Usaha Hatta tersebut mengalami kegagalan. Hatta hanya bertemu dengan Panglina TNI untuk seluruh Sumatera Kolonel Hidayat, pertemuan berlangsung pada awal Juni 1949.
Dengan kedatangan Hatta di Aceh itu, pada tanggal 14 Juni 1949, PDRI mengeluarkan pernyataan dan syarat-syarat untuk bisa menerima persetujuan Roem-Royen:
- Angkatan Bersenjata RI harus tetap berada dalam posisi-posisi yang sedang mereka duduki
- Tentara Belanda secara berangsur-angsur kembali dari kedudukannya
- Pemulihan pemerintahan Republik ke Yogyakarta harus terjadi tanpa syarat
- Kedaulatan Republik atas Jawa, Sumatera dan Madura harus diakui oleh Belanda sesuai persetujuan Lingkarjati
- Pembentukan Pemerintahan di Indonesia yang demokratis dan merdeka tidak dengan perantaraan Belanda.
(Prof. Kahin menyebutkan empat butir syarat, sedangkan buku Sjafruddin menuliskan lima butir).
Penyerahan Kembali Mandat
Karena kegagalan tersebut, Presiden Soekarno dan Wakilnya Mohammad Hatta bermaksud mengirim delegasi untuk menemui pimpinan PDRI. Maksud tersebut dikomunikasikan lewat radio.
Untuk menghadapi para utusan tersebut, PDRI mengadakan rapat lengkap di Sungai Naning, pada 1 Juli 1949. Keputusan rapat itu adalah:
Pertama, utusan Soekarno/Hatta yang akan datang diterima.
Kedua, mandat tidak akan diserahkan begitu saja sebelum bertemu/berunding dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Utusan tersebut, yang terdiri atas Mohammad Natsir, Dr. J. Leimena, Dr. Halim dan Agus Yaman - Datang di Bukittinggi pada 3 Juli, mereka mengadakan pertemuan dengan PDRI pada Juli 1949, di desa Kota Kaciek, Kecamatan Guguk Panjang, Kabupaten Limapuluh Koto.
Pada kesempatan itu, Natsir menyatakan bahwa ia sendiri sependapat dengan sikap PDRI mengenai perjanjian Roem-Royen. Tetapi karena keadaan dan perkembangan perjuangan para utusan itu mengharapkan agar PDRI mau menerima persetujuan Roem-Royen.
Secara Prinsipal PDRI tidak bisa menerima persetujuan Roem-Royen, namun demi kepentingan perjuangan untuk menegakan kemerdekaan dan kedaulatan RI serta demi persatuan nasional, pimpinan PDRI bersedia mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
Setelah pertemuan itu, Sjafruddin bersama beberapa pimpinan PDRI lainnya kembali ke Jawa. Mereka tiba di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949, jam 10.45 (dalam Memoir, Hatta menulis 13 Juli). Mohammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Mohammad Roem, Mr. Tajuddin Noor, Ki Hajar Dewantara dan Pembesar RI lainnya menyambut kedatangan tokoh PDRI itu.
Pada tanggal 13 Juli 1949, diselenggarakan sidang kabinet. Yang memimpin sidang tersebut adalah Mohammad Hatta, selaku Wakil Presiden/Perdana Menteri, dan dihadiri para pemimpin RI di Yogyakarta. Sidang yang dimulai pukul 20.00 dan diakhiri pukul 00.50 keesokan harinya itu berupa penyerahan kembali mandat kepada Presiden Soekarno. Ketika menerima kembali mandat itu, Presiden mengucapkan terimakasih atas segala usaha PDRI guna kepentingan perjuangan bangsa.
Dengan diserahkannya kembali mandat itu oleh Sjafruddin, berarti secara Formal PDRI berusia 6 Bulan 21 Hari itu telah berakhir. Walau hanya sebentar, kehadiran PDRI mempunyai arti dan makna yang besar dan penting bagi kelanjutan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
Johansyah
(Sumber Risalah No.9 Th.XXV/1988)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar